Ketika Bangsa Runtuh Karena Meremehkan Peran Guru
Belakangan
ini kita dibanjiri berbagai pemberitaan di media mengenai posisi dan peran
guru. Banyak guru kini mulai takut menindak peserta didik ketika mereka
melakukan kesalahan, karena adanya aturan perlindungan anak yang kerap
disalahpahami oleh sebagian orang tua. Tidak jarang orang tua menjadi terlalu
sensitif terhadap kebijakan sekolah, padahal dalam dunia pendidikan, setiap
peserta didik perlu diajarkan moral, etika, dan kedisiplinan. Ketika guru
memberikan pembelajaran melalui tindakan yang tegas, sejatinya mereka sedang
membentuk karakter dan mental peserta didik agar mampu menghargai orang lain
dan lingkungannya. Sayangnya, sikap tegas ini sering dianggap sebagai bentuk
kekerasan, padahal bisa jadi itu adalah wujud kasih sayang guru terhadap
muridnya. Kesalahpahaman semacam ini muncul ketika orang tua terlalu memanjakan
anak dan tidak memahami peran guru yang sesungguhnya. Akibatnya, melaporkan
guru dianggap sebagai solusi yang tepat, padahal langkah tersebut justru
merendahkan posisi guru.
Jika
kita bertanya, apa sebenarnya fungsi sekolah dan guru? Pertanyaan ini
seharusnya tertanam dalam benak orang tua sebelum mereka menitipkan
anak-anaknya untuk dididik. Mereka perlu memahami bahwa mendidik tidak hanya
membuat anak pintar membaca atau berhitung, tetapi juga mengajarkan cara
bersikap dan bertindak dengan baik. Ketegasan guru sering kali menjadi bagian
penting dari proses itu. Saya sangat meyakini bahwa di balik ketegasan selalu
ada cinta yang terucap melalui metafora tindakan.
Di
banyak kasus, ketika terjadi masalah di sekolah, guru selalu menjadi pihak
pertama yang disalahkan. Padahal, guru bekerja dalam banyak keterbatasan dan
sering tanpa dukungan sistem yang memadai. Guru honorer mengajar dengan penuh
dedikasi, tetapi digaji dengan angka yang tidak manusiawi. Guru ASN dibebani
administrasi berlebihan yang menggerus waktu mereka untuk mengajar. Bagaimana
mungkin bangsa menuntut lahirnya generasi unggul jika kebijakan yang ada tidak
memuliakan para pendidiknya?
Mari
kita melihat sejenak pada sejarah. Apa penyebab runtuhnya Dinasti Abbasiyah,
yang dahulu menjadi pusat ilmu pengetahuan dunia? Pada masa kejayaannya, para
ilmuwan dihormati, para penerjemah dan guru dihargai, dan ilmu berkembang pesat
melampaui batas keilmuan. Mereka memahami bahwa kemajuan bangsa ditentukan oleh
ilmuwan dan guru yang kompeten. Jika kita tarik ke kondisi hari ini, jelas
bahwa guru adalah pilar peradaban; cahayanya tidak akan pernah padam. Tanpa
sosok pendidik, jangan heran jika generasi menjadi rusak, dan ketika generasi
rusak, jangan berharap lahir bangsa yang berperadaban. Ketika era akhir
Abbasiyah diwarnai perebutan kekuasaan, para ilmuwan dan guru justru diremehkan
bahkan dituduh sesat. Dampaknya, peradaban besar itu melemah dan akhirnya
hancur oleh invasi Mongol.
Ketika
sebuah bangsa benar-benar memahami peran guru sebagai pembentuk peradaban,
semestinya mereka memberikan fasilitas yang layak agar guru dapat terus
meningkatkan kompetensinya. Sebaik apa pun guru, mereka tetap memiliki
kebutuhan untuk mengembangkan diri. Guru dituntut menguasai teknologi, memahami
psikologi anak, menghidupkan kreativitas, serta menjaga karakter murid, namun
pelatihan, fasilitas, dan penghargaan yang diberikan sering kali tidak sebanding.
Semua ini menunjukkan bahwa bangsa sedang menjauh dari nilai-nilai luhur
pendidikan.
Kita
harus menyadari bahwa arah suatu bangsa ditentukan oleh kualitas generasinya,
dan generasi yang berkualitas lahir dari didikan guru yang dihargai, didukung,
dan dimuliakan.
Jika bangsa ini ingin berdiri tegak, maka
pijakannya harus dimulai dari orang yang paling dekat dengan masa depan: guru.Tidak akan ada kemajuan
teknologi, kemakmuran ekonomi, atau kedewasaan demokrasi jika guru tetap
diperlakukan sebagai profesi pinggiran.
Bangsa runtuh karena meremehkan gurunya.
Bangsa berjaya karena memuliakan gurunya.
Penulis : Arsyad_baharuddin.

Komentar
Posting Komentar