Dulu Pemberontakan Fisik, Kini Perang Wacana: Apakah Kita Sedang Mengulangi G30S Versi Digital?
Setiap akhir September yang bertepatan pada tanggal 30, kita diajak mengingat kembali peristiwa G30S salah satu bab tergelap dalam sejarah Indonesia sebagai bentuk refleksi masalalu. Jika dulu perpecahan lahir dari kekuatan militer bayangan, maka kini ia tumbuh dari kekuatan algoritma dan hoaks yang tersebar tanpa kendali. Pertanyaannya: apakah kita sedang mengulangi G30S dalam versi digital?dan Apakah perna terbesit dalam pikiran kita untuk bertanya: apa pelajaran yang benar-benar kita ambil darinya? Apakah kita hanya mengenang, atau juga bercermin?
Sejarawan Anhar Gonggong pernah berkata, “Sejarah bukan untuk ditakuti, tetapi untuk dipahami. Bahaya terbesar sejarah adalah ketika kita berhenti berpikir kritis terhadap narasi yang disodorkan.” Ucapan itu terasa sangat relevan hari ini. Sebab, meski tragedi 1965 sudah lama berlalu, pola konflik berbasis narasi ternyata masih terus berulang hanya saja berpindah tempat, dari jalanan ke dunia maya.
Jika dulu perebutan pengaruh dilakukan lewat siaran radio dan propaganda fisik, kini dilakukan lewat unggahan singkat, meme, dan potongan video yang belum tentu benar. Sejarawan John Roosa menulis bahwa G30S pada dasarnya adalah “pertempuran untuk menguasai persepsi publik.” Sekarang pun begitu hanya saja medan tempurnya bernama algoritma.Tanpa kesadaran kolektif, kita bisa saja dibohongi oleh narasi tanpa isi.
Senada dengan Ungkapan,Robert Cribb dari Australia National University. Robert Cribb adalah seorang sejarawan internasional yang sangat dihormati dalam studi sejarah Indonesia, khususnya mengenai kekerasan politik, kolonialisme, dan pembunuhan massal tahun 1965–1966, mengingatkan, “Polarisasi modern tidak selalu muncul dari tindakan kekerasan, tapi dari narasi yang diulang terus menerus tanpa sumber yang jelas.” Kita melihatnya setiap hari: prasangka, kecurigaan, dan kebencian disebar dengan mudah. Kadang atas nama ideologi, kadang atas nama agama, kadang hanya demi engagement, tanpa di filter dengan baik, kita bisa saja di gerogoti oleh narasi publik, maka di perlukan daya kritis dan pengamatan yang bijak dalam mengambil kesimpulan.
Mungkin kita perlu bertanya jujur pada diri sendiri: Apakah bangsa ini benar-benar sudah merdeka dari perang ideologi, atau hanya menggantinya menjadi perang komentar?
Kalau dulu ada gerakan fisik yang mengguncang bangsa, kini kita menghadapi gerakan narasi yang perlahan menggerogoti kepercayaan antarwarga. Tidak ada darah yang tumpah, memang. Tapi luka sosial tetap menganga. Dengan dali versi singgkat melalu vidio singkat bisanya melalui tiktok, instagram dan media lainya yang sudah didesain secara pisikologis sehingga mejadi daya tarik, seolah-olah itulah yang menjadi kebutuhan, akan tetapi justru merusak pemahaman dan waktu yang bisa lebih produktif ke hal-hal yang lebih penting.
Maka, peringatan G30S seharusnya tidak membuat kita sibuk mencari kambing hitam masa lalu. Sebaliknya, ia seharusnya membuat kita lebih waspada terhadap bagaimana narasi bisa memecah belah kita hari ini.
Mungkin kini waktunya kita beralih dari pertanyaan “Siapa yang salah di masa lalu?” menjadi “Bagaimana kita mencegah kesalahan serupa di masa depan?”
Jawabannya sederhana tapi tidak mudah ialah, berpikir kritis, berhenti telan mentah-mentah, dan belajar mendengar sebelum bereaksi. Karena kesaktian Pancasila bukan hanya soal masa lalu tapi soal keberanian menjaga akal sehat dan moral di tengah hiruk pikuk wacana.
Melek sejarah seharunya menjadi keharusan generasi Z hari ini, melihat bahwa sejarah selau mengajarkan kita pada keburukan dan kebaikan, dengan sejarah kita dapat memilah yang baik dan buruk dan dengan sejarah identisa kita tetap hidup di arus banyaknya wacana publik melalui media sosial. Sehingga, walupun narasi mendunia kita tetap hidup dalam kewarasan.
Oleh: Arsyad Baharuddin Palilik
Komentar
Posting Komentar