Generasi yang Tersesat di Lalu Lintas Narasi

 

Generasi yang Tersesat di Lalu Lintas Narasi



Di era digital yang serba cepat, opini publik sering melesat lebih kencang daripada kebenaran itu sendiri. Narasi-narasi yang beredar di ruang maya kini tak lagi menunggu verifikasi, cukup dikemas dengan emosi dan dikirim lewat algoritma, maka jadilah “kebenaran baru” yang segera dipercaya banyak orang. Fenomena ini menandai krisis serius dalam cara berpikir masyarakat, terutama generasi muda yang tumbuh di tengah derasnya arus informasi tanpa kemampuan memilah antara fakta dan rekayasa opini.

Menurut pandangan saya, opini yang belum diverifikasi secara mendalam tidak layak dijadikan dalil untuk membangun kebenaran yang sifatnya hanya menguntungkan individu. Merespons secara cepat tanpa analisa dan perbandingan terlebih dahulu sama saja mencederai diri sendiri dalam berpikir.Kerugian yang muncul cukup jelas: pertama, upaya meyakinkan orang lain melalui media tetapi kosong akan nilai; kedua, berusaha terlihat berpengetahuan namun cacat dalam kepribadian. Pola semacam ini perlahan membentuk paradigma publik yang cacat dan rapuh, karena kebenaran direduksi menjadi sekadar narasi yang paling ramai dibicarakan.

Cermat adalah cara paling baijak di era yang sangat begitu terbilangcepat ini, dimana seluruh sendi-sendi kehudupan terhubug oleh banyaknya algoritma. Daya pikir dan kritis menjadi acuan yang paling penting dalam melihat berbagai aspek opini publik sebelum mengolah informasi yang serba instan ini . Dalam analisisi sikologis, hal yang sangat penting adalah mengetahui bagaimana cara kerja teknologi dalam membentuk perilaku manusia terutama pada mental , karna narasi publik dapat mempengaruhi kesehatan mental dengan terlalu banyak mengadopsi berbagai isu atau fenomena melalui media.

Fenomena Fear of Missing Out (FOMO) menjadi gejala nyata.dibalik banyaknya isu-isu politik generasi bukannya melek pada isu tersebut, justru mereka lebih tertarik pada narasi publik yang mengarah pada narsi-narasi yang tidak memiliki nilai. Mereka mendahulukan kesenangan dibandingkan substansi, gelisah jika tertinggal informasi, dan menjadikan media sebagai standar hidup. Semua ini menunjukkan keringnya identitas dalam diri generasi digital.

Untuk menumbuhkan generasi emas , kita harus menyadari sejauh mana kita mampu memahami narasi publik yang tersaji di media sosial. Seperti ditegaskan Prof. Mahfud MD, generasi emas harus dibangun di atas kemampuan bernalar secara logis dan moral yang kuat. Tanpa moral, peradaban akan runtuh. Generasi yang hanya bermodal kecerdasan tanpa etika mudah terombang-ambing oleh provokasi media.

Tulisan ini hadir sebagai refleksi bagi kita memandang banyaknya narsi publik yang seoalah-olah meyakinkan namu terdapat kepentingan pribadi didalamnya. Ini penting untuk membangun kembali bagaimana kita merespon, menganalisisi, megevaluasi, dan mengelompokkan isu yang penting untuk kita komsumsi, karena ini sangat berpengaruh pada pemahaman yang konprehensif.Sebab, pemahaman yang tidak didasari kejujuran akan melukai secara perlahan, dan ketika kejujuran tersingkir, kebohongan akan merajalela.


Penulis Oleh : arsyad_pallilik




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gelar Pelatihan Opini dan Web: Forkim Hadirkan Ketua LP2M IAIN Parepare Sebagai Pemateri

Dulu Pemberontakan Fisik, Kini Perang Wacana: Apakah Kita Sedang Mengulangi G30S Versi Digital?

The Wonderful Of Morowali