Gadget vs Buku: Siapa yang Menang di Hati Mahasiswa?

 Gadget vs Buku: Siapa yang Menang di Hati Mahasiswa?


Di era serba digital, gadget menjadi teman setia mahasiswa dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Dari bangun tidur hingga menjelang malam, layar ponsel hampir tak pernah lepas dari genggaman. Media sosial, gim, dan video singkat seolah lebih menarik dibandingkan membaca buku yang membutuhkan fokus lebih lama. Akibatnya, budaya literasi perlahan tergeser dan tingkat minat baca mahasiswa mengalami penurunan yang cukup signifikan. Bahkan dalam percakapan sederhana, sering kali mahasiswa langsung bertanya tanpa membaca keseluruhan pesan atau instruksi terlebih dahulu. Fenomena ini menunjukkan bagaimana kebiasaan membaca yang teliti mulai memudar. Perubahan perilaku ini perlu dikaji agar tidak semakin menjauhkan mahasiswa dari kebiasaan literasi yang mendalam.

Kemerosotan minat baca tidak bisa dilepaskan dari perkembangan teknologi yang begitu pesat. Gadget yang awalnya diciptakan untuk mempermudah akses informasi justru membuat banyak mahasiswa terjebak pada kenyamanan instan. Budaya “mager” atau malas bergerak menjadi semakin kuat karena semua kebutuhan terasa bisa dipenuhi hanya dengan sentuhan layar. Di bangku kuliah, penggunaan teknologi sering kali melampaui fungsi edukatifnya. Alih-alih membaca referensi atau menelaah buku teks, sebagian mahasiswa lebih memilih mencari jawaban cepat melalui internet tanpa proses analisis mendalam. Akibatnya, buku yang sarat dengan kedalaman pengetahuan kalah pamor dibandingkan dengan layar yang menawarkan informasi kilat namun dangkal.

Salah satu contoh penyalahgunaan teknologi yang marak terjadi adalah penggunaan kecerdasan buatan (AI) secara berlebihan dalam kegiatan perkuliahan. Ketika diberi tugas presentasi, banyak mahasiswa lebih memilih meminta AI untuk menyiapkan materi lengkap daripada melakukan riset dan membaca sumber-sumber kredibel. Bahkan saat sesi tanya jawab, ada yang kembali menggunakan AI untuk mencari jawaban instan. Pola ini menciptakan lingkaran ketergantungan yang mengikis kemampuan berpikir kritis. Alih-alih mengasah analisis dan argumentasi, mahasiswa justru menjadi konsumen pasif yang hanya menerima informasi mentah dari mesin, tanpa mengembangkan atau mencari tahu dari sumber yang lebih terpercaya seperti jurnal atau buku ilmiah. Jika dibiarkan, kebiasaan ini akan memunculkan generasi yang sulit menyikapi masalah nyata di masa yang akan datang dengan nalar yang matang.

Dampak jangka panjang dari ketergantungan pada gadget dan AI adalah menurunnya daya kritis mahasiswa dalam menghadapi tantangan masa depan. Mereka berpotensi kesulitan ketika dihadapkan pada kasus kompleks yang membutuhkan pemahaman mendalam dan kemampuan mengambil keputusan yang tepat. Kebiasaan mencari solusi instan mengurangi latihan berpikir yang sebenarnya penting dalam membentuk kepribadian akademik yang kuat. Generasi yang tumbuh dengan pola ini bisa menjadi kelompok yang cepat menyerah ketika solusi otomatis tidak tersedia. Di sisi lain, buku yang menawarkan ruang refleksi dan penjelasan mendetail justru semakin jarang disentuh, padahal di sanalah proses pembentukan wawasan yang utuh dapat terjadi.

Meski tantangan yang dihadapi besar, upaya menghidupkan kembali budaya literasi bukanlah hal yang mustahil. Kampus dapat mengambil peran penting dengan menghadirkan program yang mendorong mahasiswa membaca dan berdiskusi secara aktif. Kegiatan seperti klub buku, bedah literatur, atau lomba resensi dapat menjadi wadah untuk memotivasi mahasiswa agar lebih akrab dengan teks. Dosen juga bisa menanamkan kebiasaan membaca dengan memberikan tugas yang menuntut mahasiswa mengutip sumber-sumber terpercaya secara mendalam. Dengan pendekatan yang konsisten, mahasiswa dapat belajar bahwa membaca bukan sekadar kewajiban, melainkan keterampilan penting untuk memperkaya perspektif dan melatih logika.

Selain itu, mahasiswa sendiri perlu membangun kesadaran pribadi tentang pentingnya keseimbangan antara penggunaan teknologi dan literasi tradisional. Gadget seharusnya menjadi alat bantu, bukan pengganti seluruh proses berpikir. Mengatur waktu khusus untuk membaca buku cetak atau e-book yang mendalam bisa menjadi langkah awal yang sederhana namun efektif. Membiasakan diri menelaah teks sebelum bertanya juga dapat melatih ketelitian dan kesabaran dalam memahami informasi. Dengan sikap proaktif ini, mahasiswa dapat memanfaatkan teknologi tanpa kehilangan kemampuan literasi yang menjadi dasar pembentukan karakter intelektual yang tangguh.

Pada akhirnya, pertarungan antara gadget dan buku di hati mahasiswa tidak harus dimenangkan oleh salah satu pihak secara mutlak. Keduanya dapat berjalan berdampingan jika digunakan secara bijak dan proporsional. Gadget memberikan akses cepat terhadap data, sedangkan buku menawarkan kedalaman dan kesempatan merenung. Mahasiswa perlu diajak untuk melihat bahwa literasi bukan sekadar aktivitas membaca, tetapi juga latihan berpikir kritis yang tidak bisa sepenuhnya digantikan oleh mesin. Jika kesadaran ini tumbuh, generasi sekarang tidak hanya akan lebih maju secara teknologi, tetapi juga memiliki fondasi intelektual yang kokoh untuk menghadapi tantangan di masa depan.

Penulis Oleh: Mustakin 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gelar Pelatihan Opini dan Web: Forkim Hadirkan Ketua LP2M IAIN Parepare Sebagai Pemateri

Forkim IAIN Parepare Sukses Gelar Kelas Penalis Menengah: 13 Hasil Esai Peserta Siap Dilombakan

Optimalisasi Penulisan Ilmiah Mahasiswa: Forkim IAIN Parepare Sukses Gelar Kajian Spesial Mendeley untuk Umum